Saturday 16 November 2019

Kisah Pangeran Diponegoro

Hai, sahabat ....

Mumpung masih suasana hari Pahlawan, kali ini saya akan membahas tentang perlawanan rakyat Indonesia terhadap kekuasaan Belanda. Salah satunya perlawanan dan perjuangan rakyat di tanah Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Berikut artikel singkatnya.

PERLAWANAN RAKYAT INDONESIA DI PULAU JAWA PIMPINAN PANGERAN DIPONEGORO TERHADAP KOLONIAL BELANDA



Kisah Penangkapan Pangeran Diponegoro
Lukisan Raden Saleh (1857), Penangkapan Pangeran Diponegoro


1. Riwayat Perjuangan Pangeran Diponegoro
Riwayat perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda dimulai dari Perang Diponegoro. Perang tersebut merupakan perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia).  Perang ini antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. 

Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah lebih kurang 15.000. Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa.

Setelah kekalahannya dalam Perang Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.

Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan dan kesultanan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kesultanan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.

2. Awal Mula Pecahnya Perang Diponegoro
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri selir) yang berasal dari Pacitan. Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro bernama Bendara Raden Mas Antawirya.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro setidaknya menikah dengan 9 wanita dalam hidupnya, yaitu:
  • B.R.A. Retna Madubrangta puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan;
  • R.A. Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang;
  • R.A. Retnadewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta;
  • R.Ay. Citrawati, puteri Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu isteri selir;
  • R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri HB II), jadi R.A Maduretna saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu;
  • R.Ay. Ratnaningsih putri Raden Tumenggung Sumaprawira, bupati Jipang Kepadhangan;
  • R.A. Retnakumala putri Kyahi Guru Kasongan;
  • R.Ay. Ratnaningrum putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
  • Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain (Wanita dari Wajo, Makassar), makamnya ada di Makassar. Syarifah Fathimah ini nasab lengkapnya adalah Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin Datuk Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana V (1822). Ketika itu, Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujuinya.

Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut. Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.

Sementara itu, Belanda  yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro membakar habis kediaman Pangeran. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basis. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timurnya. 

Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati“; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830. 

3. Penangkapan Pangeran Diponegoro
Di tahun 1827, Belanda melakukan sebuah penyerangan kepada pihak Diponegoro dengan memakai sistem benteng pertahanan (sistem benteng stelsel) sehingga pasukan Diponegoro semakin terjepit. Pada Tanggal 12 November 1828, Kyai Mojo dan para pengikutnya disergap di daerah Mlangi, Sleman, dekat Sungai Bedog, kemudian dibawa ke Salatiga (Saleh Asʾad Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng, 1827-1830, 2004:192). Yang mengakibatkan Sang Kyai, pemimpin spiritual pasukan pangeran Diponegoro dapat ditangkap.

Menyusul setelahnya Pangeran Mangkubumi beserta dengan panglima utamanya yaitu Alibasah Sentot Prawirodirjo yang menyerah kepada pihak Belanda. Akhirnya tepat tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil membuat pasukan Diponegoro di Magelang semakin terjepit.

Dalam biografi Pangeran Diponegoro diketahui bahwa pada tanggal 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.

Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro datang ke Magelang memenuhi undangan Jenderal de Kock Panglima tentara Belanda. Pangeran diringi pengikutnya berangkat dari Metesih (kab. Karanganyar) ke tempat pertemuan di rumah residen Kedu (kota Magelang).

Penangkapan Pangeran Diponegoro di Kedu


Jenderal De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti karena beberapa hari sebelumnya sebelumnya, De Kock memberikan perintah rahasia kepada dua orang perwira infanteri seniornya, Louis du Perron dan A.V. Michiels, agar mempersiapkan pasukannya ketika Diponegoro datang. Pada hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. Tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar. Kemudian dirinya diasingkan ke tanah Manado, kemudian beliau dipindahkan ke wilayah Makassar hingga hari wafatnya tiba di Benteng Rotterdam, Makassar.

4. Akhir Perang
Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, perjuangan melawan Belanda dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro : Ki Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned yang terus-menerus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewa yang melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.

Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa,  7.000 serdadu pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Ngayogyakarta menyusut separuhnya.

Mengingat bagi sebagian kalangan dalam Kraton Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.

5. Wafatnya Pangeran Diponegoro
Setelah ditangkap Belanda, Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Ratnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno dibuang ke Manado. Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.

Barulah pada tahun 1834, Diponegoro dan rombongan dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. Enam tahun sebelum kematiannya, duka menyelimuti sang Pangeran. Maret 1849, “putra kedua Pangeran Diponegoro yang berusia 14 tahun, Raden Mas Sarkumo, meninggal setelah beberapa waktu sakit. Ia dimakamkan di sebidang tanah kecil milik pemerintah Belanda di Kampung Melayu,” tulis Peter Carey.

“Peristiwa duka ini langsung membuat Pangeran berpikir sejenak agak jauh. Sekarang saat sudah berusia kepala enam, tubuhnya kian lemah oleh penderitaan dan hidup melarat di pengasingan akibat perang, rasanya tinggal menghitung bulan.”

Kepada Gubernur Sulawesi Pieter Vreede Bik, Sang Pangeran meminta, “rencana-rencana ke depan harus dilakukan terhadap diri dan keluarganya. Termasuk di sini memagari makam putranya dengan pagar tembok rendah; menyiapkan di samping pusara itu makam untuk dirinya; membuat rumah bagi istri dan anak-anak serta pembantu-pembantu, berikut sebuah masjid kecil, sehingga ia lebih menikmati kebebasan di sisa hidupnya. Sekalipun ia tidak diizinkan meninggalkan benteng, sebuah kediaman layak tetap perlu disediakan bagi istri dan keluarganya yang masih hidup di Makassar.”

Ajal pun menjemput Sang Pangeran pada 8 Januari 1855, saat matahari terbit, pukul 06.30 WITA pagi hari, Sang Pangeran tutup usia. Menurut Surat keterangan meninggalnya, seperti dikutip Sagimun MD dalam Pahlawan Dipanegara Berjuang (1965), Sang Pangeran meninggal karena “kondisi fisik yang sudah menurun lantaran usia lanjut.” Diponegoro dimakamkan di kampung Melayu Jl. Diponegoro, Kec. Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90165.

Peter Carey (sejarawan asal Inggris) mengutip beberapa surat kabar seperti Javasche Courant (03/02/1855) dan Niuew Rotterdamsche Courant (02/04/1855), mengenai pemakaman Sang Pangeran. Pemakaman itu dilaksanakan “dengan hak-hak penuh menurut agama Islam dan dengan penghormatan yang pantas sesuai martabatnya yang terlahir sebagai bangsawan...dan sesuai keinginan almarhum, agar ia dimakamkan...dekat pusara putra keduanya Sarkumo.”

Tujuh hari setelah kematian Sang Pangeran, anak istrinya yang tersisa di Makassar menyatakan ingin menetap di Makassar dan mereka ingin tinggal di dekat makam sang Pangeran di Kampung Melayu. Permintaan keluarganya yang di Makassar itu kebetulan tak bertentangan dengan kemauan petinggi pemerintah kolonial yang tak menginginkan keluarganya Diponegoro kembali ke Jawa.

Demikianlah informasinya, semoga bermanfaat bagi kita semua anak bangsa. Jangan lupa bantu support kami dengan Follow atau Sukai blog ini. Terima kasih :)


Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro
https://historia.id/politik/articles/detik-detik-menegangkan-saat-belanda-menjebak-diponegoro
https://tirto.id/akhir-hidup-diponegoro-napoleon-van-java



Artikel Terkait





Video Pilihan


    

    

    

Semoga bermanfaat, jangan lupa support kami dengan cara Follow atau Ikuti blog ini.
Terima kasih :)

No comments:

Post a Comment