Monday 9 September 2019

Nama 10 Pahlawan Revolusi Korban Peristiwa G30S/PKI

Selamat siang ....

Sebagaimana kita ketahui bahwa kita selalu memperingati hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober. Tentunya sebagian dari kita sudah tahukan latar belakang ditetapkan tanggal 1 Oktober sebagai hari Kesaktian Pancasila!!! Namun bagi yang belum paham mari kita pahami bahwa Hari Kesaktian Pancasila diperingati karena gagalnya pemberontakan PKI pada tahun 1965 yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965 yang dimotori oleh Partai Komunis Indonesia yang diketuai oleh D.N. Aidit atau lebih dikenal dengan sebutan G30S/PKI. Gerakan ini merupakan gerakan pengambilalihan kekuasaan dan berusaha mengganti ideologi negara dari Pancasila menjadi ideologi Komunis. Gerakan yang PKI lakukan di akhir bulan September ini antara lain Penculikan terhadap 7 Jenderal TNI Angkatan Darat dan Perwira tinggi di daerah lainnya  (Yogyakarta) serta Penguasaan Gedung RRI dan Gedung Telekomunikasi di Jakarta. 

nama pahlawan revolusi korban G30S/PKI

Penguasaan sarana vital komunikasi publik (RRI & Telkom) dilakukan oleh pasukan Bima Sakti pimpinan Kapten Inf. Suradi dengan tujuan : 
  1. Pemblokiran akses informasi bagi Presiden (pemutusan jaringan telpon keluar masuk Istana).
  2. Pemblokiran akses informasi lawan-lawan dan potensi penghambat G30S. 
  3. Keleluasaan pengelolaan manajemen propaganda G30S (penyebarluasan komunikasi melalui RRI).
  4. Keleluasaan komunikasi antar pelaku G30S beserta jariangan-jaringannya (termasuk komunikasi dengan jaringan-jaringan pendukung PKI di luar negeri seperti RRC).
Semua usaha PKI untuk mengganti ideologi Pancasila menjadi Komunis mengalami kegagalan. Justru Partai ini kemudian dibubarkan dan dilarang kegiatannya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Berikut 10 korban putera terbaik bangsa Indonesia yang gugur dalam peristiwa ini dan mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi.


Nama 10 Pahlawan Revolusi


1. Jenderal Anumerta Ahmad Yani

Jenderal Aumerta Ahmad Yani lahir di Purworejo pada 19 Juni 1922. Ia mengenyam pendidikan formal di HIS (sekolah setingkat SD), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/setingkat Sekolah Menengah Pertama) dan AMS (Algemne Middelberge School/setingkat Sekolah Menengah Atas). Karir militer Jenderal Yani dimulai saat ia mengikuti wajib militer yang dicanangkan Pemerintah Hindia Belanda di Malang. Ketika Jepang menduduki Indonesia, Ahmad Yani bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA).

Di bidang militer, Ahmad Yani mengantongi sederet prestasi. Ia pernah menahan Agresi Militer pertama dan kedua Belanda. Prestasinya kian mentereng setelah memimpin pasukan melumpuhkan pemberontak DI/TII dan Operasi Trikora di Papua Barat serta Operasi Dwikora menghadapi konfrontasi dengan Malaysia. Catatan prestasi mengagumkan itu mengantarkan Ahmad Yani menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat. Saat itu Jenderal Yani menolak usul Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menginginkan pembentukan Angkatan Kelima yaitu dipersenjatainya buruh dan tani. Gencarnya Jenderal Yani menentang PKI membuatnya masuk dalam target penculikan dan pembunuhan PKI pada Gerakan 30 September. 

Letnan Jenderal A. Yani sendiri pernah mendapat informasi dari Mayor Jenderal S. Parman, Asisten Intel Menpangad, tentang adanya gerakan pada 19-20 September 1965 yang dimotori PKI. Tapi gerakan itu tidak terjadi. Bahkan pada siang hari tanggal 30 September 1965, Brigadir Jenderal Sugandhi yang merupakan ajudan Presiden Sukarno sekaligus anggota DPR-GR (Gotong Royong) berusaha menghubungi Yani untuk mengingatkannya supaya wasapada. Namun karena kesibukannya, Yani sulit ditemui. Akhirnya mereka hanya berbicara lewat telepon dan dari pembicaraan itu, menurut Gandhi seperti dikutip Rum Aly, "rasa percaya diri Yani masih cukup kuat sepanjang hubungannya dengan Sukarno” (Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, hlm. 118, 2006). Meski begitu, Yani berpesan, “kita harus berhati-hati.” Jelang malam 30 September 1965, Yani tidak berusaha menambah jumlah pasukan pengawal untuk dirinya sendiri.

Pada dini hari 1 Oktober 1965, rumah Ahmad Yani pun disatroni Pasukan Pasopati (pasukan pengawal presiden Cakrabirawa dibantu Pemuda Rakyat yang telah dilatih di desa Lubang Buaya, pinggiran Jakarta sisi timur). Di bawah pimpinan Peltu Mukidjan pasukan ini bertugas menculik Letjen Ahmad Yani yang jumlahnya cukup untuk melumpuhkan penjagaan di kediamannya. Ketika bertemu pasukan penculik (Cakrabirawa), Yani yang merasa diperlakukan dengan kurang ajar sempat mengadakan perlawanan hingga dia ditembak Sersan Gijadi. Dengan tubuh yang penuh luka tembak, jenazahnya dibawa dan dibuang ke dalam sumur di Lubang Buaya. Beliau kemudian diberikan gelar Pahlawan Revolusi dan pangkatnya dinaikkan menjadi Jenderal Anumerta.

2. Letjen. Anumerta R. Suprapto

Letjen. Anumerta Raden Suprapto dilahirkan di Purwokerto, 2 Juni 1920. Beliau ini boleh dibilang hampir seusia dengan Panglima Besar Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang Panglima Besar. Pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun 1941. Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki pendidikan militer pada Koninklijke Militaire Akademie di Bandung. Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai tamat karena Pasukan Jepang sudah keburu mendarat di Indonesia. Oleh Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan, tetapi kemudian ia berhasil melarikan diri. Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Dan setelah itu, ia pernah bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat.

Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk sebagai tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan tentara Jepang seperti di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya. Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan sejarah dengan ikut menjadi salah satu yang turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara Inggris. Ketika itu, pasukannya dipimpin langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Ia juga salah satu yang pernah menjadi ajudan dari Panglima Besar tersebut.

Sepanjang menjadi anggota TNI, ia sering dipindah tugas. Ia pernah menjadi Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang, menjadi Staff Angkatan Darat di Jakarta, dan kembali ke Kementerian Pertahanan. Pasca pemberontakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) padam, Suprapto dipindah ke Medan menjadi Deputi Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera.

Suprapto adalah salah satu Perwira Tinggi Deputi II Menteri/Panglima AD Bidang Administrasi yang berseberangan dengan pemikiran pentolan PKI, DN Aidit yang ngotot ingin mempersenjatai buruh dan tani dengan membentuk Angkatan Kelima. Karena alasan itulah Suprapto masuk dalam daftar jenderal yang harus dihabisi. Suprapto diculik oleh pasukan Pasopati di bawah pimpinan Serda. Sulaiman yang bertugas menculik Mayjend R. Suprapto dan membawanya ke Lubang Buaya.

3. Letjen. Anumerta M.T. Haryono

Letjen. Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono adalah putra seorang asisten Wedana di Gresik ini lahir di Surabaya pada 20 Januari 1924. Haryono menimba ilmu di ELS (setingkat sekolah dasar), HBS (setingkat sekolah menengah umum) dan Ika Dai Gakko (sekolah kedokteran di masa pendudukan Jepang) di Jakarta. Sayangnya, ia tidak menyelesaikan pendidikan kedokteran itu.

Jenderal bintang tiga ini dikenal sebagai orang yang sangat cerdas. Seperti Mohammad Hatta, MT Haryono diketahui fasih berbicara sejumlah bahasa asing, seperti Belanda, Inggris, dan Jerman. Tak heran ia pun menjadi acap kali ditunjuk menjadi perwira penyambung lidah dalam setiap perundingan. Seperti ketika Konferensi Meja Bunda (KMB), Haryono ditunjuk sebagai Sekretaris Delegasi Militer Indonesia. Sebelum bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Haryono sudah aktif berjuang dengan para pemuda mempertahankan kemerdekaan. Ia juga vokal menentang PKI dan kroninya. Mayjen. Mas Tirtodarmo Harjono saat itu menjabat sebagai Deputi III Menteri/Panglima AD Bidang Perencanaan dan Pembinaan. Tak heran namanya pun masuk dalam daftar jenderal yang akan diculik. 

Pada malam penculikan, Istrinya terbangun oleh sekelompok orang yang mengatakan bahwa suaminya telah dipanggil oleh Presiden Sukarno. Pasukan Pasopati yang menculiknya di bawah pimpinan Serma Bungkus. Istri Letjen. Haryono  kembali ke kamar tidur mengunci pintu di belakangnya dan mengatakan suaminya apa yang terjadi. Dia mengatakan kepadanya untuk tidak pergi dan memberitahu para pasukan untuk kembali pada pukul 8:00 WIB. Namun, Haryono curiga dan mematikan lampu memberitahu istrinya untuk pindah bersama anak-anak mereka ke kamar sebelah. Tjakrabirawa kemudian melepaskan tembakan melalui pintu kamar tidur terkunci dan Haryono melompat ke lantai. Ia bersembunyi untuk menunggu penyerang pertama yang masuk ke kamar tidur membawa kertas pembakaran untuk cahaya. Haryono mencoba untuk merebut senjata prajurit, namun gagal dan berlari keluar dari pintu dalam kebingungan. Dia ditembak mati oleh ledakan dari senjata, diseret melalui kebun, dan tubuhnya dibawa ke salah satu truk yang menunggu. Tubuhnya dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke Lubang Buaya, markas pemberontak di selatan pinggiran Jakarta, Jenazahnya disembunyikan di sumur bekas bersama dengan mayat para jenderal dibunuh lainnya. Beliau tewas ditembak di rumahnya, kemudian jasadnya di bawah ke Lubang Buaya.

4. Letjen. Anumerta Siswondo Parman

Siswondo Parman lahir di Wonosobo, 4 Agustus 1918 Jawa Tengah. Dia lulus dari sekolah tinggi di kota Belanda pada tahun 1940 dan masuk sekolah kedokteran, tetapi harus meninggalkan ketika Jepang menyerang. Dia kemudian bekerja untuk polisi militer Kempeitai Jepang. Namun, ia ditangkap karena keraguan atas kesetiaannya, namun kemudian dibebaskan. Setelah dibebaskan, ia dikirim ke Jepang untuk pelatihan intelijen, dan bekerja lagi untuk Kempeitai pada kembali sampai akhir perang, bekerja sebagai penerjemah di Yogyakarta.

Letjen Anumerta S. Parman adalah salah satu Perwira tinggi TNI AD yang menentang ide DN Aidit mempersenjatai tani dan buruh adalah Letjen S Parman. Ia yang merupakan tentara intelijen masuk daftar penculikan lantaran mengetahui semua rencana dan gerak-gerik PKI. Sebenarnya, S Parman dekat dengan PKI mengingat tugasnya sebagai intelijen negara. Ia juga mengetahui kegiatan rahasia PKI. Namun, saat ditawari bergabung dengan PKI,  jenderal  ini menolak paham komunis. Gilanya, masuknya nama S Parman dalam daftar jenderal yang harus dibunuh datang dari kakak kandungnya sendiri, Ir Sakirman. Sakirman yang saat itu merupakan salah satu petinggi PKI sering berselisih paham dengan adiknya. Pertengkaran kakak beradik itu pun berujung dengan direnggutnya nyawa S Parman.

Pasukan Pasopati di bawah pimpinan Serma Satar adalah yang bertugas menculik Mayjen. Siswondo Parman, Asisten I Menteri/Panglima AD Bidang Intelijen. Parman adalah salah satu dari enam jenderal yang dibunuh oleh anggota Gerakan 30 September pada malam 30 September-1 Oktober 1965. Dia telah diperingatkan beberapa hari sebelum kemungkinan gerakan komunis. Pada malam 30 September-1 Oktober, tidak ada penjaga yang mengawasi rumah Parman di Jalan Syamsurizal No.32. Berdasarkan istri Letjen. Anumerta S. Parman ini bahwa pasangan itu terbangun dari tidur mereka kira-kira jam 04.10 pagi WIB oleh suara sejumlah orang di samping rumah. Parman pergi untuk menyelidiki dan dua puluh empat pria dalam seragam Tjakrabirawa (Istana Garda) menuju ke ruang tamu. Orang-orang mengatakan bahwa dia dibawa hadapan Presiden sebagai "sesuatu yang menarik yang telah terjadi".

Sekitar 10 orang pergi ke kamar tidur ketika Parman berpakaian. Istrinya lebih curiga dari orang-orang, dan mempertanyakan apakah mereka memiliki surat otorisasi, salah satu pria menjawab memiliki surat sambil merogoh saku dadanya. Parman meminta istrinya untuk menelpon apa yang terjadi pada komandannya, Yani, tetapi kabel telepon telah diputus. Parman dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke basis gerakan di Lubang Buaya. Malam itu, bersama dengan tentara lain yang telah ditangkap hidup-hidup, Parman ditembak mati dan tubuhnya dimasukkan ke sebuah sumur bekas di Lubang Buaya bersama jasad 6 perwira lainnya.

5. Mayjen. Anumerta DI Pandjaitan

Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan  lahir di Balige, Sumatera Utara, 9 Juni 1925 adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia. Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya. Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi.

Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad bidang Logistik, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang giatnya mengadakan persiapan untuk mempersenjatai angkatan kelima.

Sayangnya kematiannya mengenaskan. Maut menjemput Pandjaitan saat sekelompok anggota PKI menyergap rumahnya di bawah pimpinan Serda. Sukardjo. Tahu ajalnya sudah dekat, Mayjen Anumerta DI Pandjaitan menemui tentara PKI dengan mengenakan seragam militer lengkap. Tubuhnya yang tegap pun diberondong peluru dan jenazahnya diseret ke Lubang Buaya.

6. Mayjen. Anumerta Sutoyo Siswomiharjo

Sutoyo lahir di Kebumen, Jawa Tengah pada tanggal 28 Agustus 1922. Ia menyelesaikan sekolahnya sebelum invasi Jepang pada tahun 1942, dan selama masa pendudukan Jepang, ia belajar tentang penyelenggaraan pemerintahan di Jakarta. Dia kemudian bekerja sebagai pegawai pemerintah di Purworejo, namun mengundurkan diri pada tahun 1944.

Sutoyo bergabung dengan militer sebagai Polisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal Polisi Militer. Karier di dunia militernya dimulai dengan menjadi ajudan Kolonel Gatot Soebroto, Komandan Polisi Militer. Kariernya perlahan mulai naik hingga ia dipercaya menjadi inspektur kehakiman/jaksa militer utama. Sayangnya, Sutoyo dituding ikut membentuk Dewan Jenderal sehingga namanya masuk dalam daftar perwira tinggi yang harus dihabisi oleh PKI. 

Pada Jumat dini hari, 1 Oktober 1965, Brigjen. Sutoyo Siswomiharjo diculik sejumlah pasukan Cakrabirawa (Pasopati). Pasukan Pasopati di bawah pimpinan Serma Surono bertugas menculik Brigjen. Sutoyo Siswomiharjo di Jalan Sumenep, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka masuk melalui garasi di samping rumah. Mereka memaksa pembantu untuk menyerahkan kunci, masuk ke rumah itu dan mengatakan bahwa Sutoyo telah dipanggil oleh Presiden Soekarno. Mereka kemudian membawanya ke markas mereka di Lubang Buaya. Di sana, dia dibunuh dan tubuhnya dilemparkan ke dalam sumur yang tak terpakai bersama lima jenderal lainnya.

Seperti rekan-rekan lainnya yang dibunuh, mayatnya ditemukan pada 4 Oktober dan dia dimakamkan pada hari berikutnya. Dia secara anumerta dipromosikan menjadi Mayor Jenderal dan menjadi Pahlawan Revolusi. 

7. Kapten Anumerta Pierre Tendean

Pierre Andries Tendean terlahir dari pasangan Dr. A.L Tendean, seorang dokter yang berdarah Minahasa, dan Cornet M.E, seorang wanita Indo yang berdarah Prancis, pada tanggal 21 Februari 1939 di Batavia (kini Jakarta), Hindia Belanda. Pierre adalah anak kedua dari tiga bersaudara; kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan Rooswidiati. Tendean mengenyam sekolah dasar di Magelang, lalu melanjutkan SMP dan SMA di Semarang tempat ayahnya bertugas. Sejak kecil, ia sangat ingin menjadi tentara dan masuk akademi militer, namun orang tuanya ingin ia menjadi seorang dokter seperti ayahnya atau seorang insinyur. Karena tekadnya yang kuat, ia pun berhasil bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung pada tahun 1958.

Karier militernya dimulai dengan menjadi intelijen. Ia pernah ditugaskan menjadi mata-mata ke Malaysia selama konfrontasi Indonesia-Malaysia. Pierre Tendean bertugas memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Malaysia. Pada tanggal 15 April 1965, Tendean dipromosikan menjadi letnan satu, dan ditugaskan sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution.

Pada peristiwa Gerakan 30 September/PKI, Pasukan Pasopati di bawah pimpinan Pelda Djahurub bertugas menculik Jenderal Nasution. Pierre yang mengaku sebagai Jenderal Nasution ditangkap dan dibawa pasukan PKI ke Lubang Buaya. Perwira yang baru berusia 26 tahun itu tewas diberondong timah panas dari senjata Cakrabirawa. 

Pierre Tendean yang menjadi martir Jenderal Abdul Haris Nasution yang menjadi incaran PKI untuk dibunuh. Dari ketujuh satuan tugas pasukan Pasopati, hanya kelompok pimpinan Djahurub yang gagal mendapatkan Jenderal Nasution. Namun justru membawa Lettu Pierre Tendean yang dikira Nasution. Sang jendaral berhasil melompat tembok belakang rumah, menuju halaman belakang kedutaan besar Irak. Di Lubang Buaya Pierre dibunuh dan dimasukan ke sumur tak terpakai bersama 6 Perwira Tinggi Angkatan Darat lainnya. Pierre pun dianugerahi Pahlawan Revolusi.

8. Brigadir Jenderal Anumerta Katamso Darmokusumo

Korban kekejaman PKI di luar Yogyakarta adalah Brigjen Anumerta Katamso. Jenderal kelahiran Sragen, 5 Februari 1923 itu diculik saat bertugas di Yogyakarta. Ia merupakan mantan Komandan Korem 072/Pamungkas. Katamso termasuk tokoh yang terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September. 

Upaya pengambilalihan kuasa militer di Yogyakarta justru direncanakan oleh bawahan Kolonel Katamso. Kepala Seksi (Kasi) Korem 72/Pamungkas Mayor Mulyono bertindak sebagai pimpinannya, dibantu oleh Mayor Kartawi, Mayor Daenuri, Kapten Kusdibyo, Kapten Wisnuaji, Sertu Alip Toyo, Peltu Sumardi, Pelda Kamil, Praka Anggara, Praka Sudarto, Praka Sugimin, dan lainnya (Peristiwa Pemberontakan G30S/PKI 1965 di Yogyakarta dan Sekitarnya, 2000).

Kolonel Katamso yang tiba dari Magelang pada pukul 2 siang rupanya belum sadar betul bahwa beberapa anak buahnya sudah mengakuisisi Korem 72/Pamungkas. Ia tidak kembali ke kantor, melainkan langsung pulang ke rumah dinasnya yang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 48 Yogyakarta.

Sekitar jam 5 petang tanggal 1 Oktober 1965 itu, sebuah mobil rantis berjenis Jeep Gaz memasuki halaman depan kediaman Kolonel Katamso. Kendaraan khas militer itu rupanya tak sendiri. Di belakangnya sudah bersiaga dua truk dengan bak yang dipenuhi oleh prajurit bersenjata lengkap. Jeep yang diikuti dua truk itu membawa Kolonel Katamso Markas Komando Yon L di daerah Kentungan, terletak di utara Kota Yogyakarta (Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional, 2008:273). Kolonel Katamso kemudian ditahan di ruang Komandan Batalyon.

Tubuhnya dipukuli dengan kunci mortir motor oleh Sertu Alip Toyo menghantam kepalanya dari belakang dengan kunci montir seberat 2 kilogram. Tubuhnya pun dimasukkan ke dalam sebuah lubang yang telah disiapkan di sekitar Kentungan, Sleman, Yogyakarta. Jenazahnya baru ditemukan beberapa hari kemudian tepatnya 21 Oktober 1965. Ia kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta.

9. Kolonel Infanteri Anumerta R Sugiyono Mangunwiyoto

Sebelum jadi Pahlawan Revolusi, Letnan Kolonel Sugiyono barangkali hanya dikenal di sekitar kota Yogyakarta. Perwira kelahiran Ponjong, 12 Agustus 1926 ini disebut dalam beberapa buku sejarah pahlawan nasional, salah satunya Biografi Pahlawan Nasional dari Lingkungan ABRI (1979) terbitan Pusat Sejarah ABRI. Ia pernah jadi ajudan Letnan Kolonel Soeharto di zaman revolusi. Sugijono juga dianggap turut beraksi dalam Serangan Umum 1 Maret.
Usai Revolusi, ketika pasukan Soeharto dikirim ke Sulawesi Selatan, Sugijono menjadi tentara. Sebagai eks anggota Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (Peta), ia kemudian ikut Badan Keamanan Rakyat (BKR), lalu Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sugijono yang gagal jadi guru itu, menurut Pahlawan Center, memulai karier di Peta dengan pangkat bundancho (komandan regu), pangkat setara sersan.

Menurut catatan buku yang disusun Baskara T. Wardaya, Suara Di Balik Prahara (2011), Sugijono adalah bekas Komandan Batalyon 454 Banteng Raider di Srondol, Semarang yang digantikan oleh Untung, pemimpin Gerakan 30 September (G30S). Menurut buku, Monumen Pancasila Çakti (1975), menyebut “Sugijono mempunyai andil yang besar pula dalam pembentukan Yon Banteng Raiders di Srondol, Semarang, ketika menjabat sebagai WA-DAN Yon 441. Karena sukses dalam tugas-tugas ini, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor.” Pangkat mayor sudah disandangnya sebelum 1961. Dia naik pangkat letnan kolonel sejak Januari 1963. Sebelum menjadi Kepala Staf Korem di Yogyakarta, Sugiyono pernah menjadi komandan Kodim di Pati. Lalu, Komandan Kodim di Yogyakarta sambil merangkap pejabat Kepala Staf Korem beberapa bulan sebelum kematiannya. 

Sugiono diculik bersama dengan komandannya Katamso oleh Mayor Mulyono. Versi lain menyebut Sugiono dan Katamso ditangkap gerombolan di tempat berbeda. Kala itu, Sugiyono belum lama pulang dari luar kota. Dia tertangkap ketika masuk ke markas korem Yogyakarta. Semula, ia hendak bertemu Kolonel Katamso yang akhirnya juga ditangkap gerombolan. Sugiono dibunuh bersama Brigjen Katamso dipukuli dengan kunci mortir motor.  Jenazahnya dimasukkan ke lubang yang sama dan baru ditemukan setelah 20 hari kemudian. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta.

10. AIP. Anumerta Karel Sadsuitubun

Ajun Komisaris Polisi (AIP) Anumerta Karel Sadsuitubun adalah cahaya dari timur itu yang gugur karena kesetiaannya dalam tugas pengabdiannya kepada bangsa dan negara Indonesia. Karel Sadsuitubun lahir di kota Tual pada tanggal  14 oktober 1928. Setelah menamatkan pedidikan dasarnya di SD Katolik setempat, ia kemudian masuk anggota kepolisian RI pada tahun 1951 dan ditempatkan pada bagian Brigadir Mobil di Kota Ambon. 

Tujuan Karel masuk polisi karena merasa dan melihat adanya ketidakadilan terhadap masyarakat Maluku secara khusus terhadap pamannya yang seorang mantan tentara KNIL pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang membuatnya anti Belanda. Karena pengabdian dan kesetiaannya akan tugas dan tanggung jawabnya maka ia memperoleh kesempatan untuk mengikuti beberapa pelatihan dalam dinas kepolisian antara lain : Pelatihan penyegaran di Ambon dalam rangka penumpasan RMS. Ia juga tergabung dalam pasukan penumpas DI/TII di Aceh dan Sulawesi, penumpasan PRRI di Sumatera Barat, Bertugas membebaskan Irian Barat dalam peristiwa TRIKORA dan bertugas dalam pengamanan GANEFO I di Jakarta. 

Pada tugasnya yang terakhir yaitu sebagai pengawal kediaman rumah Waperdam II, Dr. S. Leimena, Karel ketika itu ia kebagian tugas jaga pagi. Maka, ia menyempatkan diri untuk tidur. Para penculik pun datang, pertama-tama mereka menyekap para pengawal rumah Dr. J. Leimena. Karena mendengar suara gaduh maka K. Satsuit Tubun pun terbangun dengan membawa senjata ia mencoba menembak para gerombolan PKI tersebut. Malang, gerombolan itu pun juga menembaknya. Karena tidak seimbang K. Satsuit Tubun pun tewas seketika setelah peluru penculik menembus tubuhnya. Ia gugur dalam tugas sebagai seorang patriot dan pahlawan. Oleh karena itulah, ia mendapat penghargaan anugerah bintang 'Republik Indonesia III" dengan gelar Pahlawan Revolusi. Contoh  keteladanan,  kesetiaan dan pengabdiannya sebagai seorang polisi telah menginspirasi banyak pemuda dan pemudi Maluku secara khusus para pemuda pemudi di Maluku Tenggara untuk selalu setia dalam tugas dan pekerjaan dalam membela bangsa dan negara. Salah satu bentuk penghargaan pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara kepada Karel Sadsuitubun adalah membuat Patung Karel Sadsuitubun dan ditempatkan di gedung pemuda  di Kota Tual.

Ilustrasi Singkat Penculikan dan Pembunuhan Pahlawan Revolusi

Untuk yang memerlukan file MS. Word artikel ini, silahkan download di sini Nama 10 Pahlawan Revolusi Korban Peristiwa G30S/PKI.

Demikianlah informasinya, semoga bermanfaat dan dapat menjadi pelajaran untuk bangsa ini. Jangan lupa bantu support kami dengan Follow atau Sukai blog ini. Terima kasih :)


Sumber :
id.wikipedia.org
tirto.id/menjelang-g30s-1965-ahmad-yani-tahu-dirinya-akan-diculik
merahputih.com/post/read/menyibak-kekuatan-pasukan-pasopati-penculik-7-jendral
tirto.id/brigjen-katamso-korban-tragedi-1965-di-yogyakarta
tirto.id/kolonel-sugijono-pahlawan-revolusi-dari-yogyakarta


Artikel Pilihan





Video Pilihan


 

 
Semoga bermanfaat, jangan lupa support kami dengan cara Follow atau Ikuti blog ini.
Terima kasih :)

No comments:

Post a Comment